Langsung ke konten utama

Catatan Penulis


        Seniorku pernah mengatakan sepeti ini, “menulis buku itu sama halnya seperti seni menciptakan lagu maupun melukis diatas kanvas”, maksudnya disini tentu saja setiap karya seni harus memiliki pesan dan emosi agar bisa dirasakan oleh orang yang melihatnya, mendengarkannya, maupun membacanya. Kalau boleh jujur, aku tidak pernah menulis jika dalam kondisi mental yang baik-baik saja. Aku adalah tipekal orang yang mudah sekali marah, mudah merasa tertekan, dan merasa rendah diri namun kesulitan untuk mengekspresikan emosiku dengan jujur. Saat menulis, aku merasa beban yang ada dipundakku sedikit berkurang. Aku suka sekali menceritakan kisah hidupku yang terkadang salah jalur kemudian menuntun diriku sendiri untuk berpikir lebih baik dan positif. Hanya saja tidak dipungkiri kalau aku terkadang juga merasa tertekan saat membagikan tulisanku. Aku seperti terbelenggu dengan perasaan takut dan khawatir jika suatu saat nanti orang yang mengenalku mulai berpikir bahwa  ternyata ikhda shifa tidak sebaik tulisannya. “Aku benci sebuah label”.
Tapi

        Setelah membaca kutipan buku “The power of language” kekhawatiranku mulai berubah. Aku mulai memahami bahwa kunci dari pengembangan diri bukanlah menjadi orang baik dimata masyarakat melainkan lebih memahami “diriku dengan lebih tulus dan terus tumbuh dengan nyaman”. Sesungguhnya saat kita mengalami peristiwa buruk, otak kita sendiri memiliki kemampuan untuk menemukan solusi, hanya saja kita malah membiarkan perasaan buruk itu berlarut-larut dan menyebabkan diri kita berpikir bahwa kitalah manusia yang paling menderita di dunia ini. Jadi “brene brown dalam bukunya yang berjudul tak apa-apa tak sempurna “menyarankan pembacanya untuk lebih fokus kepada penyebab dibandingkan cara. Kita tentu tahu penyebab utama kebodohan adalah malas belajar. Namun setip individu punya penyebab yang berbeda “ada anak yang tidak suka belajar karena gurunya menyebalkan, dibully oleh teman-temannya, atau kurang bisa fokus memahami sesutu”. Maka dari itu menemukan penyebab dan cara yang paling cocok untuk memperbaiki diri akan memudahkan kita mencapai kepuasan yang akan menuntun kita untuk lebih mencintai diri kita sendiri.

        Aku memahami kalau sekeren apapun seseorang, dia juga mengalami kesulitan. Aku juga mempelajari tentang “toxic positifity” dimana kita tidak bisa selalu mengajak orang lain berpikir positif saat kondisi emosionalnya sedang tidak baik. Jadi, tidak apa-apa jika kita masih merasa kekurangan dan kesulitan menyesuaikan diri. Di dalam buku yang berjudul “I want to die but i want to eat tteokpokki” aku juga menemukan pemahaman bahwa hidup memang seperti roda yang berputar. Ada kalanya hari ini kita merasa sedih kemudian beberapa menit kemudian tertawa lepas karena hal yang sepele atau mungkin ada kalanya kita merasa marah dan kasihan diwaktu yang bersamaan. (Jadi jangan terlalu frustrasi dengan dunia).
Terakhir.
        Belajarlah untuk  tidak hanya membandingkan dirimu sendiri dengan pencapaian orang lain. Sesekali buatlah dirimu dimasalalu memandang dirimu saat ini. Aku yakin dirimu saat remaja juga merasa bangga dengan dirimu saat ini terlepas dari ketidak sempurnaan yang kamu miliki. Saat ini, kamu sudah tumbuh dengan baik, sudah bisa menyelesaikan pendidikan, sudah bisa bangun lebih pagi, sudah bisa berteman dengan lebih baik, sudah bisa menurunkan berat badan dan lain sebagainya. Setiap orang pasti memiliki kebanggaan dalam dirinya sendiri dan itu adalah obat terbaik saat kita merasa sangat buruk bahkan ingin mati saja.

With love

Ikhda Shifa

 


Halo semuanya kembali lagi bersama saya, "author nan cantik dan mempesona siapa lagi kalau bukan Ikhda Shifa". YEEAHH. Bagi para pembaca yang pertama kali berkunjung ke Blog ini, sekali lagi saya mengucapkan ‘SELAMAT DATANG”. Semoga semua ilmu yang saya bagikan dapat bermanfaat dan membuka sudut pandang kalian tentang kehidupan.

Komentar