PERCAKAPAN
KITA
👨Gue: Dari wajah-wajah kalian yg
suram, pasti kalian sedang mengalami QLC (Quarter Life Crisis)?.
👩Followers
gue : Betul,
betul, betul?
👨Gue : Wah, selamat ya. Jangan sedih
jangan gundah. Tenang aja kita lalui semua ini bersama-sama.
👩Followers
gue : Dih, so
sweet
Hola
semuanya, kembali lagi bersama saya, author nan cantik dan mempesona. Siapa
lagi kalau bukan Ikhda Shifa HAHAHAHA (Inilah alasan gue blm menikah). Okay
skip langsung ke intinya, kalian semua jangan malas baca ya biarpun
pembukaannya udah bikin kalian mau mun**h kkk.
Quarter
Life Crisis atau yang biasa disingkat dengan QLC
merupakan fenomena sosial yang melanda anak muda pada priode usia 20-30
tahunan. Dimana pada usia tersebut, seseorang mulai dihadapkan dengan
berbagai macam persoalan dan tanggung jawab yang menyangkut keputusan penting
dalam hidupnya. QLC sendiri dapat berdampak buruk pada kondisi psikis
seseorang seperti munculnya rasa khawatir akan masa depan, merasa rendah
diri (insecure) bahkan bisa menyebabkan seseorang kehilangan
semangat dan motivasi hidupnya.
Sebenarnya, Quarter Life Crisis (QLC) ini wajar sekali
terjadi bahkan dapat melanda hampir semua orang di seluruh dunia. Penyebab
utamanya karena pada masa inilah awal terjadinya transisi kehidupan
manusia. Kita sebagai anak muda yang biasanya segala sesuatu ditanggung
orang tua, harus mulai belajar mandiri dalam menjalani kehidupan (masa transisi
mahasiswa - pekerja). Selain itu, kita yang awalnya single kemudian
memutuskan untuk mengakhiri masa lajang dengan menikah mulai dibebankan dengan
tugas dan tanggung jawab sebagai seorang suami, istri, maupun orang tua.
Udah kebayang
kan tentang Quarter Life Crisis (QLC)?
Kondisi Quarter
Life Crisis (QLC) ini, bisa diperparah dengan banyaknya narasi-narasi
kegagalan, harapan-harapan orang lain, serta jaminin dan proyeksi kehidupan
yang tidak pasti. Bahkan dalam hati ini terkadang terbesit rasa iri, dengki,
dan hasad terhadap pencapaian orang lain yang ternyata menyebabkan
tingkat stres kita semakin tinggi. So bagaimana cara
mengatasinya?
Mari
kita berfikir secara realistis, sebagai makhluk sosial pernyataan seperti
"jangan perduli apa kata orang lain" memang sangatlah sulit
untuk diterapkan. Bisa sih berperilaku cuek, tapi ga mungkin berhasil 100%.
Terlebih lagi budaya bertetangga dan gotong royong yang dijunjung tinggi
masyarakat di Indonesia semakin mempererat hubungan antar sesama. Sayangnya,
eratnya hubungan tersebut berdampak pada kebiasaan orang Indonesia yang suka
ikut campur dalam ranah pribadi seseorang.
Contoh
konkritnya nih : Kamu sudah memasuki usia matang untuk menikah, tapi ternyata
sampai detik ini jodoh kamu belum terlihat. Ga jarang kan tetangga kita
mengeluarkan jurus menakut-nakuti dengan mengatakan "km cepet nikah
dong, nanti kalau kelamaan jadi perawan tua gimana? ga takut kamu kalau ada
yang mau". Padahal nih dimata orang-orang kita ini single berkualitas
hahaha.
Selain itu, budaya "orang tua" yang
seringkali membanggakan dan membandingkan anaknya menyebabkan kita lebih
fokus pada pencapaian orang lain bukanya pada diri sendiri. Bahkan nih
terkadang kita berusaha mati-matian bukan untuk menyenangkan diri sendiri tapi
agar terlihat keren di mata orang-orang. Iya Kan? Nah sayangnya jika kita
terus-terusan hidup seperti ini, disaat kita gagal, kita akan lebih mudah
merasa insecure dan kehilangan semangat hidup.
Dari
uraian diatas, bisa disimpulkan bahwa tidak perduli apa kata orang lain tetap
saja sulit untuk diterapkan. Terlebih perilaku orang lain semuanya diluar
kontrol kita. Oleh karena itu, daripada tidak perduli (cuek) mari coba benahi
perspektif kita agar persoalan semacam ini bisa terselesaikan
Berdasakan sudut padang gue pribadi, ikhlas dan sabar degan tidak
mudah iri pada takdir orang lain adalah mindset yang harus
diasah dan dilatih. Coba bayangkan, jika semua manusia memiliki
kehidupan bagaikan garis linier, dunia ini akan sangat membosankan.
Pastinya tidak akan banyak pelajaran hidup yang bisa kita petik dari orang
lain, tidak ada semangat hidup karena kita sudah mengetahui apa yang akan kita
lalui di masa depan, dan bahkan parahnya kita bisa saja kurang bermanfaat dan
kurang mengisi satu sama lain.
Dalam agama Islam, kita seringkali diajarkan untuk meyakini bahwa dalam
kehidupan ini ada yang namanya takdir baik dan takdir buruk. (Tolong kaji
sendiri ya, soalnya takutnya kalau aku yang ngejelasin bisa salah
tafsir). Intinya sih Allah SWT menetapkan segala sesuatu untuk hambanya
pasti bertujuan untuk kebaikan. Entah itu untuk melatih mental, menjadikan
kita semakin bertaqwa, bahkan menjadikan kehidupan kita lebih baik di masa yang
akan datang. Yah, meskipun nih caranya dengan melalui jalan yang terjal dan
curam.
Sebagai manusia kesalahan kita terletak pada rasa kecewa dan tidak
terima atas takdir yang diberikan oleh Allah SWT. Dalam hidup ini
terkadang kita terlalu ngoyo, mengharapkan dan memaksakan takdir seseorang juga
terjadi di dalam kehidupan kita. Bahkan nih dengan catatan takdirnya harus yang
enak-enak aja. Padahal kan yang baik menurut kamu belum tentu baik juga
menurut Allah SWT.
Disini gue akan ngasih analogi ke kalian kenapa mindset berpengaruh
penting pada kondisi psikis kamu. Aku ambil contoh ada dua orang manusia dengan
kondisi kehidupan sebagai berikut :
- Si A
tumbuh dari keluarga yang kurang berada. Bahkan dia tidak bisa melanjutkan
kuliah karena terhalang biaya. Meskipun begitu, dia struggle sama
hidupnya bahkan bisa jadi pengusaha di usianya yang terbilang masih muda. Lain
halnya dengan si B,
- Si B
tumbuh dari keluarga kaya, bisa kuliah ditempat bagus, IPK juga summa
cumlaude, tapi harus berakhir jadi karyawan di perusahaan si A.
Dari kasus diatas dapat dilihat kalau sebenarnya semua orang itu punya
jalan hidupnya masing-masing yang ga boleh diiriin. Meskipun si A tidak
mengenyam bangku perkuliah, tapi karena kegigihan dan usahanya, dia bisa
mendirikan perusahaannya sendiri. Nah, kalau si B meskipun dia ga jadi
pengusaha, dia tidak mengalami kesulitan saat hendak memasuki dunia
perkuliahan, bahkan dia memiliki IPK bagus yang otomatis berpengaruh pada
tingkat kepercayaan diri dibidang akademis.
Namun, kalau dilihatnya hanya dari sisi negatifnya saja, si A bisa
berfikir bahwa kehidupan si B ini enak sekali, "dia tidak perlu struggle
diawal hidupnya dan bisa menikmati masa-masa menjadi mahasiswa". Si B pun
demikian, jika hanya dilihat dari sisi negatifnya si B akan berfikir kalau enak
sekali jadi si A "karena ga perlu capek-capek kuliah udah jadi pengusaha
sukses"
See??
Sudut pandang sangatlah mempengaruhi. Stres enggaknya kamu tergantung dari
situ.
Ini
merupakan tips dari gue untuk mengatasi dan mengalihkan fokus kalian pada saat
menghadapi problem nyinyiran dan overthinking karena
faktor Quarter Life Crisis (QLC) Point utamanya sih jangan
gabut kalau ga mau stres.
- Meskipun
kalian masih pengangguran, pastikan untuk tetap konsisten mengasah softskill maupun
kemampuan otak. Bisa dengan membaca buku satu hari 3 lembar, mengasah
kemampuan public speaking, berlatih dan belajar bahasa asing, atau
ikut kajian untuk meningkatkan keimanan.
- Cari hobby dan
kalau bisa buat goalsnya. Kalau gue nih saat ini lagi fokus nurunin berat badan
dengan ikut member gym selama 6 bulan hahaha. Goals gue saat ini adalah turun
berat badan sebanyak 5kg. Terus gimana dong kalau ga punya hobby?
Tenang, kalian bisa mencoba merubah kebiasaan buruk yang sudah
bertahun-tahun tertanam. Misalnya aja ngerokok, dugem, bangun siang sampai
jam 12-an, atau ngegibah mungkin. Hal-hal kecil ga apa-apa kok. Btw hal kecil
bisa berdampak besar lho kalau kamu bisa konsisten.
- Ga
usah terburu-buru dalam hidup ini, nikmatin aja semuanya. Kamu belum tentu lho
bisa hidup sampai 71 tahun (berdasarkan penelitian rata-rata hidup orang
Indonesia mencapai usia 71 tahun). Misal aja nih nauzubillah besok km positif
corona terus meninggal. Yang penting ibadah jangan dilupain dan ditinggalin.
Soalnya, habis dunia terbitlah akhirat.
- Usahakan
kalau kerja itu harus seimbang sama kehidupan. Jangan ngoyo jadi
"tajir" sampai tamak atau sakit. Karena nih kalau kamu tamak,
kemungkinan besar hidup km ga tenang (selain karna menanggung dosa kita juga
bakalan semakin hopeless sama tuntutan society).
Dan lagi kalau kamunya sakit-sakitan, aktivitas kamu bisa terhambat bahkan
uang yang kamu tabung jadinya sia-sia karena buat biaya berobat .
Udah ya sekian dari gue. Semoga bermanfaat. Buat teman-teman kelahiran
97 kayak gue. Semangat ya 💪😁 Jangan
pernah berpikiran buat bunuh diri. Mari kita saling membantu dan mengingatkan
di masa-masa QLC ini. Ga apa-apa kok kalau terkadang kita ngerasa sedih, ga
bisa terus positif thinking, dan juga ga selalu bisa menerapkan apa yang kita
pelajarin selama hidup. Namanya juga manusia yang penting masih punya harapan.
Sekali lagi, jangan ngerasa sendirian ya, hampir semua orang mengalami QLC
kok.
PERCAKAPAN
KITA
👨Gue: Dari wajah-wajah kalian yg
suram, pasti kalian sedang mengalami QLC (Quarter Life Crisis)?.
👩Followers
gue : Betul,
betul, betul?
👨Gue : Wah, selamat ya. Jangan sedih
jangan gundah. Tenang aja kita lalui semua ini bersama-sama.
👩Followers
gue : Dih, so
sweet
Hola
semuanya, kembali lagi bersama saya, author nan cantik dan mempesona. Siapa
lagi kalau bukan Ikhda Shifa HAHAHAHA (Inilah alasan gue blm menikah). Okay
skip langsung ke intinya, kalian semua jangan malas baca ya biarpun
pembukaannya udah bikin kalian mau mun**h kkk.
Quarter
Life Crisis atau yang biasa disingkat dengan QLC
merupakan fenomena sosial yang melanda anak muda pada priode usia 20-30
tahunan. Dimana pada usia tersebut, seseorang mulai dihadapkan dengan
berbagai macam persoalan dan tanggung jawab yang menyangkut keputusan penting
dalam hidupnya. QLC sendiri dapat berdampak buruk pada kondisi psikis
seseorang seperti munculnya rasa khawatir akan masa depan, merasa rendah
diri (insecure) bahkan bisa menyebabkan seseorang kehilangan
semangat dan motivasi hidupnya.
Sebenarnya, Quarter Life Crisis (QLC) ini wajar sekali
terjadi bahkan dapat melanda hampir semua orang di seluruh dunia. Penyebab
utamanya karena pada masa inilah awal terjadinya transisi kehidupan
manusia. Kita sebagai anak muda yang biasanya segala sesuatu ditanggung
orang tua, harus mulai belajar mandiri dalam menjalani kehidupan (masa transisi
mahasiswa - pekerja). Selain itu, kita yang awalnya single kemudian
memutuskan untuk mengakhiri masa lajang dengan menikah mulai dibebankan dengan
tugas dan tanggung jawab sebagai seorang suami, istri, maupun orang tua.
Udah kebayang
kan tentang Quarter Life Crisis (QLC)?
Kondisi Quarter
Life Crisis (QLC) ini, bisa diperparah dengan banyaknya narasi-narasi
kegagalan, harapan-harapan orang lain, serta jaminin dan proyeksi kehidupan
yang tidak pasti. Bahkan dalam hati ini terkadang terbesit rasa iri, dengki,
dan hasad terhadap pencapaian orang lain yang ternyata menyebabkan
tingkat stres kita semakin tinggi. So bagaimana cara
mengatasinya?
Mari
kita berfikir secara realistis, sebagai makhluk sosial pernyataan seperti
"jangan perduli apa kata orang lain" memang sangatlah sulit
untuk diterapkan. Bisa sih berperilaku cuek, tapi ga mungkin berhasil 100%.
Terlebih lagi budaya bertetangga dan gotong royong yang dijunjung tinggi
masyarakat di Indonesia semakin mempererat hubungan antar sesama. Sayangnya,
eratnya hubungan tersebut berdampak pada kebiasaan orang Indonesia yang suka
ikut campur dalam ranah pribadi seseorang.
Contoh
konkritnya nih : Kamu sudah memasuki usia matang untuk menikah, tapi ternyata
sampai detik ini jodoh kamu belum terlihat. Ga jarang kan tetangga kita
mengeluarkan jurus menakut-nakuti dengan mengatakan "km cepet nikah
dong, nanti kalau kelamaan jadi perawan tua gimana? ga takut kamu kalau ada
yang mau". Padahal nih dimata orang-orang kita ini single berkualitas
hahaha.
Selain itu, budaya "orang tua" yang
seringkali membanggakan dan membandingkan anaknya menyebabkan kita lebih
fokus pada pencapaian orang lain bukanya pada diri sendiri. Bahkan nih
terkadang kita berusaha mati-matian bukan untuk menyenangkan diri sendiri tapi
agar terlihat keren di mata orang-orang. Iya Kan? Nah sayangnya jika kita
terus-terusan hidup seperti ini, disaat kita gagal, kita akan lebih mudah
merasa insecure dan kehilangan semangat hidup.
Dari
uraian diatas, bisa disimpulkan bahwa tidak perduli apa kata orang lain tetap
saja sulit untuk diterapkan. Terlebih perilaku orang lain semuanya diluar
kontrol kita. Oleh karena itu, daripada tidak perduli (cuek) mari coba benahi
perspektif kita agar persoalan semacam ini bisa terselesaikan
Berdasakan sudut padang gue pribadi, ikhlas dan sabar degan tidak
mudah iri pada takdir orang lain adalah mindset yang harus
diasah dan dilatih. Coba bayangkan, jika semua manusia memiliki
kehidupan bagaikan garis linier, dunia ini akan sangat membosankan.
Pastinya tidak akan banyak pelajaran hidup yang bisa kita petik dari orang
lain, tidak ada semangat hidup karena kita sudah mengetahui apa yang akan kita
lalui di masa depan, dan bahkan parahnya kita bisa saja kurang bermanfaat dan
kurang mengisi satu sama lain.
Dalam agama Islam, kita seringkali diajarkan untuk meyakini bahwa dalam
kehidupan ini ada yang namanya takdir baik dan takdir buruk. (Tolong kaji
sendiri ya, soalnya takutnya kalau aku yang ngejelasin bisa salah
tafsir). Intinya sih Allah SWT menetapkan segala sesuatu untuk hambanya
pasti bertujuan untuk kebaikan. Entah itu untuk melatih mental, menjadikan
kita semakin bertaqwa, bahkan menjadikan kehidupan kita lebih baik di masa yang
akan datang. Yah, meskipun nih caranya dengan melalui jalan yang terjal dan
curam.
Sebagai manusia kesalahan kita terletak pada rasa kecewa dan tidak
terima atas takdir yang diberikan oleh Allah SWT. Dalam hidup ini
terkadang kita terlalu ngoyo, mengharapkan dan memaksakan takdir seseorang juga
terjadi di dalam kehidupan kita. Bahkan nih dengan catatan takdirnya harus yang
enak-enak aja. Padahal kan yang baik menurut kamu belum tentu baik juga
menurut Allah SWT.
Disini gue akan ngasih analogi ke kalian kenapa mindset berpengaruh
penting pada kondisi psikis kamu. Aku ambil contoh ada dua orang manusia dengan
kondisi kehidupan sebagai berikut :
- Si A tumbuh dari keluarga yang kurang berada. Bahkan dia tidak bisa melanjutkan kuliah karena terhalang biaya. Meskipun begitu, dia struggle sama hidupnya bahkan bisa jadi pengusaha di usianya yang terbilang masih muda. Lain halnya dengan si B,
- Si B tumbuh dari keluarga kaya, bisa kuliah ditempat bagus, IPK juga summa cumlaude, tapi harus berakhir jadi karyawan di perusahaan si A.
Dari kasus diatas dapat dilihat kalau sebenarnya semua orang itu punya
jalan hidupnya masing-masing yang ga boleh diiriin. Meskipun si A tidak
mengenyam bangku perkuliah, tapi karena kegigihan dan usahanya, dia bisa
mendirikan perusahaannya sendiri. Nah, kalau si B meskipun dia ga jadi
pengusaha, dia tidak mengalami kesulitan saat hendak memasuki dunia
perkuliahan, bahkan dia memiliki IPK bagus yang otomatis berpengaruh pada
tingkat kepercayaan diri dibidang akademis.
Namun, kalau dilihatnya hanya dari sisi negatifnya saja, si A bisa
berfikir bahwa kehidupan si B ini enak sekali, "dia tidak perlu struggle
diawal hidupnya dan bisa menikmati masa-masa menjadi mahasiswa". Si B pun
demikian, jika hanya dilihat dari sisi negatifnya si B akan berfikir kalau enak
sekali jadi si A "karena ga perlu capek-capek kuliah udah jadi pengusaha
sukses"
See??
Sudut pandang sangatlah mempengaruhi. Stres enggaknya kamu tergantung dari
situ.
Ini
merupakan tips dari gue untuk mengatasi dan mengalihkan fokus kalian pada saat
menghadapi problem nyinyiran dan overthinking karena
faktor Quarter Life Crisis (QLC) Point utamanya sih jangan
gabut kalau ga mau stres.
- Meskipun kalian masih pengangguran, pastikan untuk tetap konsisten mengasah softskill maupun kemampuan otak. Bisa dengan membaca buku satu hari 3 lembar, mengasah kemampuan public speaking, berlatih dan belajar bahasa asing, atau ikut kajian untuk meningkatkan keimanan.
- Cari hobby dan kalau bisa buat goalsnya. Kalau gue nih saat ini lagi fokus nurunin berat badan dengan ikut member gym selama 6 bulan hahaha. Goals gue saat ini adalah turun berat badan sebanyak 5kg. Terus gimana dong kalau ga punya hobby? Tenang, kalian bisa mencoba merubah kebiasaan buruk yang sudah bertahun-tahun tertanam. Misalnya aja ngerokok, dugem, bangun siang sampai jam 12-an, atau ngegibah mungkin. Hal-hal kecil ga apa-apa kok. Btw hal kecil bisa berdampak besar lho kalau kamu bisa konsisten.
- Ga usah terburu-buru dalam hidup ini, nikmatin aja semuanya. Kamu belum tentu lho bisa hidup sampai 71 tahun (berdasarkan penelitian rata-rata hidup orang Indonesia mencapai usia 71 tahun). Misal aja nih nauzubillah besok km positif corona terus meninggal. Yang penting ibadah jangan dilupain dan ditinggalin. Soalnya, habis dunia terbitlah akhirat.
- Usahakan kalau kerja itu harus seimbang sama kehidupan. Jangan ngoyo jadi "tajir" sampai tamak atau sakit. Karena nih kalau kamu tamak, kemungkinan besar hidup km ga tenang (selain karna menanggung dosa kita juga bakalan semakin hopeless sama tuntutan society). Dan lagi kalau kamunya sakit-sakitan, aktivitas kamu bisa terhambat bahkan uang yang kamu tabung jadinya sia-sia karena buat biaya berobat .
Udah ya sekian dari gue. Semoga bermanfaat. Buat teman-teman kelahiran
97 kayak gue. Semangat ya 💪😁 Jangan
pernah berpikiran buat bunuh diri. Mari kita saling membantu dan mengingatkan
di masa-masa QLC ini. Ga apa-apa kok kalau terkadang kita ngerasa sedih, ga
bisa terus positif thinking, dan juga ga selalu bisa menerapkan apa yang kita
pelajarin selama hidup. Namanya juga manusia yang penting masih punya harapan.
Sekali lagi, jangan ngerasa sendirian ya, hampir semua orang mengalami QLC
kok.
Waduh waduh, cocok di baca sama anak muda zaman sekarang ini. Terkadang stres bisa bikin hilang akal. Cara menghilangkan stres salah satunya ya berpikir positif, dan asah kemampuan diri, bukan meratapi hal-hal nggak jelas. Kurang lebih gitu ya, hehe..
BalasHapusSalam kenal Shifa ^^,
Latihan mengasah mindset "apa yang bisa kukendalikan & apa yang tidak bisa kukendalikan" juga berarti, yaaa...
BalasHapusNice post, Kak~
Welcome to 1m1c
B-)
Salam kenal Shifa 👋🏻
BalasHapusSulit sih untuk merasa masa bodoh sama omongan orang lain 100% 😂
Tapi dengan belajar mencintai diri sendiri, lebih mengenal diri dan kemampuan apa yang kita miliki, pasti kita bisa sih melaluinya. So, semangat! 🎉