Langsung ke konten utama

Quarter Life Crisis : Toxic Positivity


Hola semuanya kembali lagi bersama saya author cantik dan mempesona, siapa lagi kalau bukan “Ikhda Shifa” 👀 yeeeee. Kayaknya gue mau bikin nama pena deh biar keren. Kira-kira namanya apa ya? kalau “your future” gimana? 😄 Aduh pagi-pagi udah ngegombal 💘.Okay skip, langsung saja ya. Jadi artikel gue hari ini akan membahas mengenai "toxic positivity yang mempengaruhi pentingnya seseorang untuk memeluk agama dan memiliki inner circle yang suportif, berilmu, dan searah.


Oleh : Ikhda Shifa Nazila 05/08/2020

Pertama-tama gue akan membahas mengenai makna 

"TOXIC POSITIVITY" terlebih dahulu.


     Saat dilanda kegalauan dan berbagai macam problem kehidupan, sebagai makhluk sosial tentu kita membutuhkan seseorang untuk mencurahkan segala keluh-kesah dalam hati dan pikiran kita (Istilahnya butuh tempat curhat lah), dengan tujuan untuk mengurangi beban psikis yang ada.

     Namun tak jarang teman curhat kita malah memberikan respon positif seperti "jangan sedih", "udah lah, ga usah dipikirin gitu aja baper", atau " jangan menyerah" yang dia kira dapat mematahkan perasaan buruk yang kita alami, tapi ternyata kalimat tersebut malah memperburuk kondisi psikis kita seperti, : menjadikan diri kita semakin insecure, terus-terusan menyalahkan diri sendiri, bahkan merasa kalau tidak ada satupun orang yang memahami posisi kita sekarang. Nah inilah yang dimaksud dengan "toxic positivity"

   Dikutip dari Cnn.com, makna "toxic positivity" merujuk pada suatu konsep yang menganggap bahwa berpikiran positif merupakan cara yang paling ampuh untuk menjalani kehidupan. Konsep tersebut mengajak seseorang untuk lebih fokus pada hal-hal positif dan menolak apapun yang dapat memicu emosi negatif. Padahal jawaban seperti "semuanya akan baik-baik saja" cenderung menjadi alasan klise dan solusi kosong bagi kebanyakan orang saat ini.
     
    Sebuah Study Psychological Science (2006) menyimpulkan bahwa anjuran untuk berpikir positif pada saat kondisi emosional belum stabil, justru akan memperburuk keadaan seseorang yang sudah menilai dirinya begitu rendah. Menurut Dr. Jiemi Ardian (seorang residen psikiatri di RS Muwardi Solo), dorongan “be positive” bisa saja berdampak negatif karena tidak semua orang butuh disemangati saat mereka menceritakan pengalaman buruknya maupun perasaan negatifnya. Namun, seringkali orang-orang disekitar mereka memberikan dorongan dan kalimat yang seakan-akan positif padahal bukan itu lah yang sedang dibutuhkan oleh seorang yang sedang bermasalah.

   Setiap emosi yang dikeluarkan oleh manusia semuanya memiliki pesan. Apabila kita terlalu sering menyangkal dan memendam perasaan negatif, maka lambat laun perasaan tersebut akan semakin menumpuk. Dampaknya, seseorang bisa saja terkena stres dan mengalami sakit psikis serta fisik (Psikosomatis).

Lantas langkah apa yang harus kita lakukan saat menghadapi teman yang sedang curhat?

  • Pastikan kamu menyediakan waktu luang untuk mendengarkan segala keluh-kesahnya.
  • Tanpa memotong pembicaraan, biarkan mereka mengeluarkan segala emosi yang mengganjal didalam hatinya.
  • Setelah selesai sesi curhat, teori hot cold empathy gap bisa mulai diterapkan. Caranya dengan ajak lawan bicara kamu untuk melakukan kegiatan tertentu yang bisa menstabilkan kondisi emosionalnya. Setelah dirasa stabil, mulailah pembicaraan dengan menyisipkan sudut pandangmu dan solusi atas segala permasalahannya. Kalau perlu bantu dia dengan ikut terlibat dalam menyelesaikan masalahnya.

Selanjutnya, gue akan membahas mengenai peran agama dalam mengelola emosi. Sehingga kamu lebih mudah untuk mengeluarkan emosi.

Dalam hidup ini, seringkali kita berpikir bahwa memiliki pengalaman buruk maupun perasaan negatif merupakan suatu hal yang salah dan tidak wajar. Padahal di sisi lain, Allah SWT menunjukkan kekuasaannya dengan menganugrahi manusia berbagai macam emosi yang terbagi atas: hasrat, sedih(duka), heran(ingin tahu), cinta, benci, dan kegembiraan (penelitian oleh Descrates (2006)).

     Keenam emosi tersebut menunjukkan bahwa sebagai manusia biasa “it's okay to not be okay”. Hanya saja yang seringkali menjadi problem dalam lingkungan society adalah disaat kita tidak mampu memposisikan diri ataupun mengelola segala emosi tersebut. Dari sini bisa disimpulkan bahwa kita memerlukan Agama untuk pengendalian diri dengan cara menyempurnakan akhlak.


Paragraf selanjutnya bersumber dari ceramah Ustadz Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab, MA yang tayang di SCTV dengan tema : Kedudukan Akhlak Dalam Islam



     Ustadz Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab, MA mengungkapkan bahwa kedudukan akhlak di dalam Agama Islam sangatlah penting. Sampai-sampai Nabi Muhammad SAW bersabda, “Sesungguhnya aku diutus (oleh Allah) untuk menyempurnakan akhlak yang baik (saleh)” Hadist HR Muslim. 
     
     Akhlak dalam ajaran Agama Islam bahkan bisa dipandang lebih penting daripada ibadah ritual. Dahulu terdapat kisah dimana ada seorang sahabat yang menanyakan kepada Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam perihal seseorang yang memiliki ibadah yang baik (sholat maupun puasa) tetapi seringkali menggangu tetangganya. Nabi Muhammad SAW kemudian menjawab, “Dia di api neraka”. Dari kisah tersebut bisa diambil pelajaran bahwa seseorang yang memiliki budi pekerti yang luhur dapat mencapai kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan orang yang banyak salat maupun puasanya.
   
   Apabila ditinjau kembali, mempelajari dan menyempurnakan akhlak tentu saja akan berdampak positif bagi kehidupan sosial, seperti meminimalisir terjadinya konflik antar sesama maupun mempermudah dalam bersosialisasi. Selain itu, sebagai manusia dengan mempelajari ilmu ini lebih dalam, kita akan mengetahui cara memperlakukan sesama, menjaga silaturahmi, maupun menumbuhkan empati dengan cara memposisikan diri menjadi orang lain.

Pentingnya memiliki Inner Circle yang Suportif, Berilmu, dan Searah.

Memiliki inner circle yang berilmu, suportif, dan searah juga tidak kalah pentingnya. Sebagai makhluk sosial, kita perlu belajar memfilter lingkungan mana yang sekiranya dapat mendukung maupun berkontribusi bagi kehidupan kita di masa depan. Cara paling ampuh menurut gue adalah dengan membagi relationship kedalam beberapa cluster.

  • Cluster Pertama



Orang-orang yang termasuk kedalam cluster ini merupakan mereka yang benar-benar perduli, tidak memiliki niat menjerumuskan, dan akan tetap berada disamping kalian apapun yang terjadi. Contohnya saja orang tua, pasangan, anak, saudara, dan sahabat sejati. Nah, dalam mengambil keputusan hidup, pastikan bahwa kamu telah mempertimbangkan berbagai macam sudut pandang mereka. Selain itu, tidak ada salahnya juga kalau keputusan yang kamu ambil bertujuan untuk membahagiakan orang-orang terdekat kamu. 

  • Cluster Kedua


Cluster kedua ini ditempati oleh orang-orang yang kamu kenal baik tapi tidak terlalu dekat misalnya saja teman sekelas, saudara jauh, maupun tetangga. Orang-orang di cluster ini bisa kalian gunakan sebagai relasi maupun tempat silaturahmi namun tidak berperan penting dalam pengambilan keputusan dalam hidup kalian. (Dicuekin juga ga masalah). Yang terakhir adalah : 

  • Cluster ketiga



Cluster ketiga khusus untuk orang-orang yang sebatas "say hello" maupun orang-orang yang tidak kamu kenal. Nah inilah yang pendapatnya paling tidak berpengaruh dalam kehidupan. Jadi ga usah stres maupun merasa tertekan. 

Untuk penutupnya, open minded boleh, tapi ingat jangan bertentangan sama Agama. Hidup itu rumit jadi tetap saja kamu butuh Allah SWT buat struggle dalam kehidupan.




Halo semuanya kembali lagi bersama saya, "author nan cantik dan mempesona siapa lagi kalau bukan Ikhda Shifa". YEEAHH. Bagi para pembaca yang pertama kali berkunjung ke Blog ini, sekali lagi saya mengucapkan ‘SELAMAT DATANG”. Semoga semua ilmu yang saya bagikan dapat bermanfaat dan membuka sudut pandang kalian tentang kehidupan.

Komentar

  1. betul itu,kalo lagi stress boro - boro pengen disemangatin. yang ada pengen mamam bakso + es campur ya, hihihi. tapi sulit memang menstop orang utk bilang "jangan menyerah" , termasuk saya sendiri kalo nulis soal pengalaman buruk terus kaya dapet insight dan menstimulus yang baca buat gak menyerah.

    tapi beda kasus mungkin ya kalo sama orang yg lagi down. bilang, "jangan nyerah, tetap semangat" itu udah kaya otomatis aja. niatnya udah bagus, berarti care sama kita. cuman, memang thats not what we need.

    sekarang kita tau nih, jangan say too much positife words sama yang lagi stress. mending bilang, " yuk ah ngabaso! yuk ah ke salon! " hihihi

    BalasHapus
  2. Aku tertarik di paragraff terkahir. Terkadang, open minded yang marak di medsos. Mereka seolah bangga dengan 'kesesatan' berikir mereka. Padahal apa2 yang kerap mereka gaungkan itu bertentangan dengan perintah agama :)

    BalasHapus
  3. Aku sih lebih suka jadi pendengar ketimbang jadi pencurhat, hehe..

    Tapi kadang suka kesel kalo yg dicurhatin ituitu mulu, dan nggak ngerti waktu, haha..

    Intinya ya curhat sama si empunya segalanya aja, dengan mendekatkan diri sama Allah, pasti hati bakal plong.

    Bukannya curhat sama medsos yg nggak jelas, eh malah dinyinyirin, hojo..

    BalasHapus

Posting Komentar

Tulis komentar yang sopan yah :D, jangan menghina lho..!!